
gemakeadilan.com - Peraturan Menteri
Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi mengamanatkan
masing-masing perguruan tinggi untuk membentuk Satuan Tugas PPKS dalam
waktu satu tahun pasca pengundangan Permendikbudristek PPKS. Oleh karena itu,
pada tanggal 31 Agustus 2022 Rektorat Universitas Diponegoro (Undip) resmi
menetapkan Peraturan Rektor Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pedoman Pencegahan dan
Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Universitas Diponegoro (Pertor
PPKS).
Proses pembuatan
Pertor PPKS ini melibatkan partisipasi berbagai pihak. Pihak-pihak tersebut
adalah Tim Penyusun Pertor ini sendiri, Undip Aman Kekerasan Seksual (Undip
Aman KS), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas dan Fakultas/Sekolah,
serta Senat Mahasiswa (SM) Universitas dan
Fakultas/Sekolah. Selain
melibatkan partisipasi banyak pihak, menurut Angela Augusta, salah satu anggota
tim pengkaji Pertor PPKS, proses pembuatan Pertor ini juga sangat panjang dan
berliku. Hal ini dikarenakan Draf Rancangan Pertor (Draf Rapertor) PPKS Undip
pertama yang dipublikasikan pada pertengahan Januari 2022 memiliki banyak
permasalahan dan ketidaksesuaian dengan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021
maupun peraturan perundang-undangan lainnya, yang mana hal ini tercantum lebih
jelas dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang disusun oleh Undip Aman KS
dan lembaga lainnya. Kemudian, setelah adanya audiensi oleh Aliansi Isu
Kekerasan Seksual dengan Sukinta, S.H., M.H. selaku salah satu Tim Penyusun
Pertor dan Kepala Kantor Hukum Undip, barulah pada awal Agustus 2022
dipublikasikan perubahan atas draf pertama tersebut (draf kedua).
Draf kedua memang
sudah mengalami perbaikan dibandingkan dengan draf yang tersusun pada awal
tahun, tetapi masih terdapat banyak permasalahan. Merespon masalah tersebut,
Aliansi Isu Kekerasan Seksual saat itu sudah menyusun DIM terbaru. Namun, saat
DIM tersebut akan diaudiensikan kembali, pihak Rektorat melalui Tim Penyusun
Pertor kembali mengirimkan draf ketiga yang diterima oleh Undip Aman KS pada 27
Agustus 2022, kemudian pihak Rektorat meminta kepada Undip Aman KS untuk
menyusun DIM sesuai format yang telah diberikan, serta menginformasikan akan
adanya public hearing terakhir
sebelum pengesahan (penetapan) Pertor PPKS Undip. Public hearing berlangsung pada 31 Agustus 2022 yang dihadiri oleh
berbagai pihak dan memberikan masukan terhadap draf ketiga yang 99 persen sama
dengan Pertor No. 13 Tahun 2022 yang telah disahkan saat ini.
Jika dilihat dari
substansinya, Pertor No. 13 Tahun 2022 terdiri atas XI Bab yang mana beberapa
diantaranya mengatur mengenai tujuan, prinsip, dan sasaran Pertor ini;
pencegahan kekerasan seksual; penanganan kekerasan seksual (termasuk pengenaan
sanksi); Satuan Tugas PPKS; serta hak saksi, korban, dan terlapor. Di antara
pasal-pasal dalam Pertor PPKS tersebut, ada beberapa pasal yang menurut Undip
Aman KS perlu menjadi perhatian bersama guna mengoptimalkan pencegahan dan
penanganan kekerasan seksual di lingkungan Undip. Dua di antaranya:
- Pasal 1 angka
21 yang mendefinisikan Satuan Tugas adalah satuan tata kelola di Undip
yang menjalankan fungsi PPKS, sedangkan definisi satuan tata kelola
sendiri belum diatur dalam Pertor No. 13 Tahun 2022, sehingga Undip Aman
KS merekomendasikan untuk mengadopsi secara penuh ketentuan Pasal 1 angka
14 Permendikbudristek 30/2021.
- Pasal 6 ayat
(4) huruf g yang menjelaskan bahwa salah satu bentuk pencegahan kekerasan
seksual adalah mewajibkan warga kampus untuk berpakaian dengan memenuhi
nilai-nilai kesopanan. Ketentuan ini tentu menimbulkan masalah, karena
seolah memvalidasi bahwa pakaian merupakan faktor terjadinya kekerasan
seksual. Berbagai data mengenai faktor terjadinya kekerasan seksual telah
membuktikan tidak ada hubungan antara pakaian yang dikenakan korban dengan
terjadinya kekerasan seksual. Pun,
jika argumennya menyatakan bahwa berpakaian sopan adalah kewajiban bagi
warga Undip terlepas dari konteks kekerasan seksual, maka hal ini juga
sudah diatur dalam Pasal 6 huruf h Pertor 28/2016 tentang Kode Etik
Mahasiswa Universitas Diponegoro. Berkaitan dengan ketentuan berpakaian
sopan tersebut, Undip Aman KS merekomendasikan untuk menghapus ketentuan
tersebut. Selain itu masih ada beberapa pasal lain yang perlu diperhatikan
dalam Pertor 13/2022 yang dapat diakses melalui akun Instagram
@undipamanks.
Menurut Angela,
walaupun masih memiliki beberapa kekurangan tetapi pengesahan Pertor PPKS ini
tentu merupakan langkah awal untuk memenuhi kebutuhan warga Undip terhadap
lingkungan Undip yang aman dari kekerasan seksual. Oleh karenanya, perlu ada
kerja sama dari seluruh warga Undip untuk mengawal implementasi Pertor PPKS
agar gerakan Undip aman kekerasan seksual benar-benar terwujud.
Sejalan dengan
Angela, Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan BEM FH Undip, Vanessa Audrey, juga
mengungkapkan bahwa pengesahan Pertor PPKS merupakan momen yang telah
ditunggu-tunggu oleh seluruh masyarakat Undip, khususnya mahasiswa. Ia berharap ke depannya Pertor PPKS ini dapat
diimplementasikan secara baik dan benar demi menciptakan ruang aman dari
kekerasan seksual bagi seluruh masyarakat Undip tanpa terkecuali.
Untuk melihat
perspektif lain dari mahasiswa, tim penulis mencoba untuk mewawancarai seorang
mahasiswa untuk dimintakan pendapat tentang hal ini. Dimas Afilla, mahasiswa
semester 3 FH Undip, angkat bicara terkait permasalahan ini. Ia menyambut baik
adanya Pertor yang berkaitan dengan PPKS. Dimas menyampaikan bahwa adanya
regulasi ini memberikan kepastian hukum dan sebagai bentuk komitmen pihak
kampus untuk mencegah dan menangani permasalahan kekerasan seksual di lingkup kampus.
Selain itu, ia menyampaikan apresiasi atas kerja keras berbagai pihak yang
terus memperjuangkan isu anti kekerasan seksual hingga terbitnya Pertor ini.
Dimas menambahkan
bahwa untuk memperluas informasi terkait terbitnya Pertor ini, baiknya diadakan
sosialisasi yang dilakukan secara masif baik oleh pihak kampus atau
didelegasikan melalui organisasi kemahasiswaan. “Kalau terkait isu ini sih sudah sering dilakukan sosialisasi
baik berupa diskusi atau seminar yang dilakukan oleh BEM FH Undip, kemarin juga pas PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus
Bagi Mahasiswa Baru) ada sesi sosialisasi yang dilakukan oleh divisi
Pemberdayaan Perempuan (PP) BEM FH Undip. Kebetulan saya bertugas sebagai
Komisi Disiplin dalam acara itu.”
Dimas juga
mengkritisi beberapa poin dalam Pertor ini yang dirasa belum cukup jelas. “Saya
melihat masih ada beberapa celah yang berkemungkinan untuk salah dipersepsikan.
Contohnya seperti yang tertuang pada Pasal 7 huruf b tentang larangan melakukan
pertemuan tertutup di dalam ruangan oleh seorang dosen atau tenaga pendidik
dengan seorang mahasiswa. Definisi ruangan tertutup yang seperti apa? Kalau di dalam ruangan kelas bagaimana?
Banyak ruangan kelas yang berkapasitas kecil seperti di jalan penghubung gedung
A dan gedung H, ya itu masih kurang
jelas sih,” ungkapnya.
Dimas berharap,
diterbitkannya Pertor ini dapat menjadi payung hukum apabila terjadi kasus
kekerasan seksual di lingkup Undip. Ia menambahkan bahwa pelaksanaan Pertor
seyogyanya terus dilakukan evaluasi sehingga dapat dengan efektif mencegah dan
menanggulangi isu kekerasan seksual di lingkup kampus.
Meluas namun masih
berkaitan dengan topik, penulis mencoba untuk menanyakan kepada Dimas terkait
isu kekerasan seksual di Undip yang melibatkan anggota BEM Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan (FPIK) dan menyatakan pendapat akan hal itu. Terkait hal itu,
Dimas beranggapan bahwa sudah seharusnya pihak kampus memberikan sanksi tegas
kepada pelaku kekerasan seksual sehingga memberikan kesadaran kepada mahasiswa
tentang betapa penting dan krusialnya isu ini. “Iya iya, kemarin sempat dengar tentang kasus kekerasan seksual di
BEM FPIK. Saya mengapresiasi kepada jajaran BEM FPIK yang tidak memberikan
tempat kepada pelaku kekerasan seksual dengan melakukan pemecatan dan
publikasi. Saya rasa itu langkah yang tepat,” tukasnya.
Penulis: Agistya
Dwinanda, Atmakeno Daniswara
Editor: Vanya
Jasmine
Sumber Gambar: Dokumentasi Narasumber