img-post

Apa itu pemerintahan otoriter? Berdasarkan KBBI “otoriter” berarti berkuasa sendiri atau sewenang-wenang. Mengutip dari Tempo.co “otoriter” mengacu pada suatu bentuk pemerintahan atau kepemimpinan di mana kekuasaan terpusat pada satu individu atau kelompok, dengan sedikit atau bahkan tidak ada partisipasi dari masyarakat. Maka, dapat diketahui secara umum bahwa sistem pemerintahan yang otoriter seringkali tidak memberikan warganya kesempatan untuk berpendapat, bersuara, ataupun bertindak terhadap kebijakan-kebijakan milik pemerintah. 


Dengan dibungkamnya hak rakyat untuk menanggapi penguasanya, maka secara natural rakyat tentunya tidak akan mengamini hal tersebut. Mengingat pula bahwa rakyat yang sadar jika diri mereka sedang ditindas dan tidak mendapatkan kesejahteraan yang patut, sudah semestinya rakyat akan memberontak dan menuntut keadilan terhadap penguasa mereka. Lantas, bagaimana cara sang penguasa otoriter untuk mencegah agar rakyatnya tidak mengumpulkan aksi massa dan rezimnya tidak ditumbangkan?


Penem et Circenses.


Penem et Circenes atau diartikan dalam bahasa latin berarti Roti dan Sirkus. Kutipan tersebut merupakan cuplikan dari sebuah syair yang ditulis oleh seorang pujangga asal Romawi Kuno yang bernama Decimus Junius Juvenalis atau biasa dipanggil Juvenal. Dalam syairnya, diceritakan kisah tentang rakyat Roma yang disuguhkan roti secara gratis dan pertunjukkan sirkus yang begitu menghibur dan populer oleh pemerintah setempat. Juvenal di sini menggambarkan rakyat Roma yang tenggelam dalam dunia hiburan dan kenikmatan makanan gratis sehingga mulai acuh terhadap kehidupan politik dan militer pemerintah mereka yang sebenarnya kejam.


Cuplikan syair tersebut menyoroti gagasan bahwa untuk mempertahankan rezim yang otoriter, pemerintah harus mampu mengalihkan perhatian rakyatnya dari kesadaran politik dan menjauhkan dari pemikiran-pemikiran kritis terhadap kebijakan pemerintah, dengan terus membuat rakyatnya terbelenggu dalam kenikmatan dan tidak mempedulikan apa yang pemerintah mereka lakukan. Semakin tinggi kesadaran rakyat dan meningkatnya nilai-nilai demokrasi, maka semakin rentan kekuatan pemerintahan otoriter tersebut. 


Kini jika praktik itu dibawakan pada masa modern saat ini, bukan gladiator yang bertanding di atas arena, melainkan atlet-atlet yang menggiring bola diatas lapangan atau drama artis-artis yang begitu sensasional, dan bukan roti, melainkan bantuan pangan bergizi yang diberikan juga secara gratis. Jika hal-hal tersebut dilakukan dengan benar, rakyat semestinya tidak akan peduli terhadap kebijakan penguasa mereka. Penindasan dibiarkan, dan korupsi merajalela.


Karena rakyat yang baik adalah rakyat yang patuh, dan rakyat yang bersuara adalah ancaman yang dapat mengganggu kestabilan negara.


Namun pada akhirnya, frasa “Roti dan Sirkus” menggambarkan bahwa rakyat secara kolektif memiliki wawasan yang dangkal dan dapat dipuaskan dengan makanan dan hiburan semata. Kita tahu bahwasannya tidak semua orang akan seperti itu, akan ada waktunya di mana beberapa kalangan intelektual yang tidak puas dengan sekedar “kenyang dan terhibur” akan bangkit diantara orang-orang yang tertindas dan akan berdiri menghadap penguasa otoriter untuk menuntut sebuah keadilan.


Penulis: Gola Apranji Cahyono

Editor: Fildzah Shafa Ghani dan Rizki

Sumber Gambar: History.com